Indonesia dikenal sebagai negara dengan kekayaan budaya yang luar biasa. Di antara banyaknya suku dan budaya yang hidup berdampingan, budaya Tionghoa menjadi salah satu yang sangat menonjol di beberapa kota. Salah satu kota yang terkenal dengan akulturasi budaya Tionghoa yang sangat kental adalah Singkawang, sebuah kota kecil di Kalimantan Barat yang dijuluki “Kota Seribu Kelenteng.”

Singkawang bukan sekadar tempat tinggal bagi etnis Tionghoa. Di kota ini, warisan budaya, tradisi, hingga arsitektur Tionghoa tumbuh dan berkembang secara harmonis dengan budaya lokal lainnya seperti Dayak dan Melayu. Kota ini bahkan menjadi sorotan nasional dan internasional setiap tahunnya karena perayaan Cap Go Meh yang megah dan penuh warna.
Sejarah Singkat Singkawang
Nama Singkawang berasal dari bahasa Hakka, yaitu “San Khew Jong,” yang berarti kota di bukit dekat laut dan estuari. Sejarah Singkawang dimulai sejak abad ke-18, ketika banyak orang Tionghoa datang ke Kalimantan Barat sebagai pekerja tambang emas dan pedagang. Sebagian besar dari mereka berasal dari Provinsi Guangdong dan Fujian di Tiongkok selatan.

Para imigran Tionghoa ini kemudian menetap di kawasan yang kini menjadi Singkawang, dan membangun komunitas yang solid. Mereka mendirikan kelenteng, pasar, rumah-rumah dengan gaya arsitektur khas Tionghoa, dan mempertahankan tradisi leluhur mereka. Hingga kini, sekitar 40–50% penduduk Singkawang merupakan keturunan Tionghoa, sebagian besar dari etnis Hakka.
Kota Seribu Kelenteng
Salah satu ciri khas yang paling mencolok saat mengunjungi Singkawang adalah banyaknya kelenteng yang tersebar di seluruh penjuru kota. Mulai dari kelenteng kecil yang berada di pojok gang hingga kelenteng megah yang menjadi pusat peribadatan dan perayaan budaya.
Beberapa kelenteng terkenal di Singkawang antara lain:
- Kelenteng Tri Dharma Bumi Raya: Kelenteng utama yang terletak di pusat kota. Bangunannya megah dengan ornamen naga, patung dewa, dan lampion warna-warni.
- Vihara Thian Hou Keng: Salah satu kelenteng tertua di Singkawang, didedikasikan untuk Dewi Laut, Mazu, yang sangat dihormati oleh masyarakat pesisir Tionghoa.
- Kelenteng di Gunung Sari: Dikenal sebagai tempat meditatif yang tenang, dengan pemandangan kota Singkawang dari ketinggian.

Tak heran jika Singkawang disebut sebagai “Kota Seribu Kelenteng.” Kelenteng tidak hanya menjadi tempat ibadah, tetapi juga pusat budaya, sosial, dan simbol toleransi antar umat beragama.
Perayaan Cap Go Meh yang Spektakuler
Puncak kemeriahan budaya Tionghoa di Singkawang terjadi setiap tahun saat perayaan Cap Go Meh, yaitu hari ke-15 setelah Tahun Baru Imlek. Perayaan ini bukan hanya pesta budaya, tapi juga menjadi atraksi wisata berskala nasional dan internasional.
Salah satu yang paling ditunggu-tunggu adalah arak-arakan Tatung, yaitu orang-orang yang dianggap dirasuki oleh roh leluhur atau dewa dan melakukan aksi ekstrim, seperti menusuk diri dengan benda tajam, berjalan di atas bara, dan sebagainya. Tradisi Tatung dipercaya sebagai ritual untuk mengusir roh jahat dan membawa keberuntungan bagi kota.
Ribuan orang memadati jalanan Singkawang untuk menyaksikan parade ini. Para Tatung berpakaian mencolok dengan warna emas, merah, dan hijau, serta membawa peralatan upacara. Musik tradisional, tarian naga dan barongsai, hingga petasan dan tabuhan genderang menambah kemeriahan acara ini.
Tidak hanya masyarakat Tionghoa, perayaan Cap Go Meh di Singkawang juga diikuti oleh warga Dayak, Melayu, dan komunitas lain, menciptakan suasana toleransi dan keberagaman yang sangat indah.
Kuliner Khas Tionghoa di Singkawang

Selain budaya dan arsitektur, kuliner menjadi salah satu daya tarik utama Singkawang. Masakan Tionghoa di kota ini berkembang dengan cita rasa lokal yang unik. Bahkan, banyak makanan khas Singkawang yang tidak bisa ditemukan di tempat lain.
Beberapa makanan khas yang wajib dicoba:
- Choipan: Kue berbahan dasar tepung berisi bengkuang atau kucai, dikukus dan disajikan dengan sambal bawang khas Singkawang.
- Kwe Kia Theng: Sup khas Hakka berisi jeroan, tahu, telur rebus, dan bihun, dengan kuah rempah yang kuat.
- Bubur Pecal: Bubur gurih yang disiram kuah kacang dan sayuran rebus, pengaruh dari budaya lokal.
- Ngo Hiang dan Bakso Goreng: Kudapan populer saat Cap Go Meh.
- Nasi Campur Singkawang: Disajikan dengan daging panggang, telur, dan sayuran khas.
Sebagian besar makanan ini halal, namun ada juga yang mengandung babi. Untuk wisatawan Muslim, banyak restoran Tionghoa Muslim atau tempat makan dengan label halal yang tersedia di kota ini.
Menjelajahi Arsitektur dan Kehidupan Kota
Salah satu cara terbaik menikmati Singkawang adalah dengan berjalan kaki di pusat kota. Jalan-jalan seperti Jalan Firdaus dan Jalan Sejahtera dipenuhi toko-toko tua, rumah tradisional Tionghoa dengan atap melengkung, dan lampion yang tergantung di atas jalan. Banyak mural dan lukisan dinding yang menggambarkan budaya Tionghoa, menambah estetika kota.
Kota ini juga memiliki rumah adat Hakka dan museum kecil yang menceritakan sejarah migrasi dan akulturasi budaya. Tak jauh dari pusat kota, terdapat kawasan Gunung Poteng dan Danau Tadow yang menawarkan suasana alam yang segar dan pemandangan indah.
Toleransi dan Kehidupan Multikultural
Singkawang menjadi contoh nyata kota multikultural yang hidup rukun. Meski dominan Tionghoa, masyarakat Melayu dan Dayak hidup berdampingan dalam harmoni. Banyak rumah ibadah berdiri berdampingan: kelenteng, gereja, dan masjid. Di momen besar seperti Idul Fitri, Imlek, atau Natal, warga saling mengunjungi dan berbagi kebahagiaan.
Pemerintah kota dan masyarakat sangat mendukung pelestarian budaya tanpa melupakan semangat kebhinekaan. Inilah yang menjadikan Singkawang unik, bukan hanya karena budaya Tionghoanya, tetapi karena kerukunan yang tumbuh kuat di dalamnya.
Waktu Terbaik Berkunjung ke Singkawang

Waktu terbaik mengunjungi Singkawang adalah saat perayaan Imlek dan Cap Go Meh, biasanya pada bulan Januari atau Februari. Namun, jika ingin suasana lebih tenang, berkunjung di luar musim perayaan juga sangat menyenangkan. Cuaca di Singkawang cenderung panas dan lembap, jadi siapkan pakaian nyaman dan tabir surya.
Akses menuju Singkawang bisa melalui Pontianak, dengan perjalanan darat sekitar 3–4 jam. Alternatif lainnya, kamu bisa terbang ke Bandara Supadio Pontianak dan melanjutkan perjalanan dengan travel atau bus.
Kesimpulan
Singkawang adalah bukti bahwa warisan budaya Tionghoa bisa tumbuh dengan kuat dan harmonis di tengah keberagaman Indonesia. Dari kelenteng yang megah, kuliner khas, perayaan Cap Go Meh yang spektakuler, hingga toleransi antar suku dan agama, semuanya menjadi daya tarik tersendiri yang tidak ditemukan di kota lain.
Jika kamu ingin merasakan pengalaman budaya Tionghoa yang otentik, tidak perlu jauh-jauh ke luar negeri. Singkawang adalah jawabannya — kota kecil yang sarat warna, cita rasa, dan keramahan luar biasa.